PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS
1. Imam Ibnul Mubarak berpendapat
tidak ada qunut di shalat Shubuh.
2. Imam Abu Hanifah berkata: “Qunut
Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.”
Lihat Subulus Salam (I/378).
3. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab:
“Tidak ada satu pun hadits yang shah tentang masalah qunut Shubuh!!”
3. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab:
“Tidak ada satu pun hadits yang shah tentang masalah qunut Shubuh!!”
Lihat Silsilatul Ahaadits
adh-Dha’iifah wal Maudhu’ah (II/388)
4. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata:
“Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus. Jumhur ulama berkata: “Tidaklah qunut
Shubuh ini dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak ada
satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengerjakan demikian.”
Lihat Zaadul Ma’aad (I/271 &
283), tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth
5. Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
“Qunut Shubuh tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun
dilakukan di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Imam
Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq,
mereka semua tidak melakukan qunut Shubuh.”
Lihat Fiqhus Sunnah (I/167-168)
PENJELASAN TENTANG PENDAPAT MEREKA
YANG MENYUNNAHKANNYA
Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah ataupun tidak ada nazilah.”
Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah ataupun tidak ada nazilah.”
Apabila kita perhatikan, maka kita
dapat mengetahui bahwa yang melatarbelakangi pendapat mereka adalah ‘anggapan’
mereka tentang ke-shahih-an hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus.
Akan tetapi setelah pemeriksaan, kita mengetahui bahwa semua hadits tersebut ternyata dha’if (lemah) semuanya.
Akan tetapi setelah pemeriksaan, kita mengetahui bahwa semua hadits tersebut ternyata dha’if (lemah) semuanya.
Kemungkinan besar, mereka belum
mengetahui tentang kelemahan hadits-hadits tersebut. Karena ma-nusia tetaplah
manusia, siapapun dia, dan sifat manusia itu bisa benar dan bisa juga salah.
Dan Imam asy-Syafi’i sangat memahami hal ini, sehingga beliau berkata:
إِذَا
وَجَدْتُمْ فِيْ كِتَابِيْ هَذَا خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَدَعُوْا مَا قُلْتُ (وفي رواية) فَاتَّبِعُوْهَا
وَلاَ تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ.
رواه الهروي والخطيب والنووي في المجموع (1/63) أنظر صفة صلاة النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رواه الهروي والخطيب والنووي في المجموع (1/63) أنظر صفة صلاة النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila kamu mendapati dalam
kitabku pendapat-pen-dapatku yang menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka peganglah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam riwayat lain beliau berkata:
Ikutilah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan kamu
menoleh kepada pendapat siapapun.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Harawi,
al-Khathib al-Baghdadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam
kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab [1]. Lihat kitab Shifat Shalat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karya Imam al-Albany..
كُلُّ
مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ، فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا
فِيْ
حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَوْتِيْ.
حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَوْتِيْ.
رواه
أبو نعيم في الحلية والهروي كما قاله الألباني في صفة صلاة النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ص30)
“Setiap masalah yang sudah sah
haditsnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut para
ulama-ulama hadits, akan tetapi pendapatku menyelisihi hadits yang shahih, maka
aku akan rujuk dari pendapatku, dan aku akan ikut hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang shahih baik ketika aku masih hidup, maupun setelah aku
wafat.”
Diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu
Nu’aim al-Ashba-hani dan al-Harwi, lihat di kitab Sifat Shalatin Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam al-Albany
كُلُّ
مَا قُلْتُ، فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلاَفَ
قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْلَى. فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ.
رواه ابن أبي حاتم وأبو نعيم وابن عساكير أنظر صفة صلاة النبو صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للألباني .
رواه ابن أبي حاتم وأبو نعيم وابن عساكير أنظر صفة صلاة النبو صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للألباني .
“Setiap pendapatku yang menyalahi
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang wajib diikuti, dan
janganlah kamu taqlid kepadaku.”
Diriwayatkan oleh: Imam Ibnu Abi
Hatim, al-Hafizh Abu Nu’aim dan al-Hafizh Ibnu ‘Asakir. Lihat kitab Sifat
Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Imam al-Albani.
QUNUT NAZILAH
Qunut Nazilah adalah do’a qunut ketika musibah atau kesulitan menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Qunut Nazilah, yaitu mendo’akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muk-minin dan mendo’akan kecelakaan atau kekalahan, ke-hancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musy-rikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin. Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat, dilakukan sesudah ruku’ di raka’at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini dilakukan oleh Imam atau Ulil Amri.
Qunut Nazilah adalah do’a qunut ketika musibah atau kesulitan menimpa kaum Muslimin, seperti peperangan, terbunuhnya kaum Muslimin atau diserangnya kaum Muslimin oleh orang-orang kafir. Qunut Nazilah, yaitu mendo’akan kebaikan atau kemenangan bagi kaum Muk-minin dan mendo’akan kecelakaan atau kekalahan, ke-hancuran dan kebinasaan bagi orang-orang kafir, Musy-rikin dan selainnya yang memerangi kaum Muslimin. Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat, dilakukan sesudah ruku’ di raka’at terakhir pada shalat wajib lima waktu, dan hal ini dilakukan oleh Imam atau Ulil Amri.
Imam at-Tirmidzi berkata: “Ahmad
(bin Hanbal) dan Ishaq bin Rahawaih telah berkata: “Tidak ada qunut dalam
shalat Fajar (Shubuh) kecuali bila terjadi Nazilah (musibah) yang menimpa kaum
Muslimin. Maka, apabila telah ter-jadi sesuatu, hendaklah Imam (yakni Imam kaum
Mus-limin atau Ulil Amri) mendo’akan kemenangan bagi ten-tara-tentara kaum
Muslimin.” [2]
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mela-kukan qunut satu bulan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib,
‘Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, yakni apabila beliau telah membaca
“Sami’allaahu liman hamidah” dari raka’at terakhir, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendo’akan kecelakaan atas mereka, satu kabilah dari Bani Sulaim,
Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah sedangkan orang-orang yang di belakang beliau
mengaminkannya. [3]
Hadits-hadits tentang qunut Nazilah
banyak sekali, dilakukan pada shalat lima waktu sesudah ruku’ di raka’at yang
terakhir.
Imam an-Nawawi memberikan bab di
dalam Syarah Muslim dari Kitabul Masaajid, bab 54: Istihbaabul Qunut fii
Jami’ish Shalawat idzaa Nazalat bil Muslimin Nazilah (bab Disunnahkan Qunut
pada Semua Shalat (yang Lima Waktu) apabila ada musibah yang menimpa kaum
Muslimin) [4]
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail
Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah,
Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
[1]. Majmu’ Syarahil Muhadzdzab I/63.
[2]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah at-Tirmidzi II/434.
[3]. Abu Dawud no.1443, al-Hakim I/225 dan al-Baihaqi II/200 & 212, lihat Irwaa-ul ghaliil II/163.
[4]. Lihat juga masalah ini dalam Zaadul Ma’aad I/272-273, Nailul Authar II/374-375 –muhaqqaq.
_______
Footnote
[1]. Majmu’ Syarahil Muhadzdzab I/63.
[2]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah at-Tirmidzi II/434.
[3]. Abu Dawud no.1443, al-Hakim I/225 dan al-Baihaqi II/200 & 212, lihat Irwaa-ul ghaliil II/163.
[4]. Lihat juga masalah ini dalam Zaadul Ma’aad I/272-273, Nailul Authar II/374-375 –muhaqqaq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar